Fosil di Siberia “Kerabat” Orang Papua
Fosil di Siberia “Kerabat” Orang Papua
Ilmuwan yang meneliti DNA sebuah fosil berusia 30 ribu
tahun lebih di Siberia kaget.
KAMIS, 23 DESEMBER 2010, 10:05 WIB
Arfi Bambani Amri
Suku di Papua (Banjir Ambarita | Papua)
VIVAnews - Sejumlah ilmuwan yang mencoba memecahkan
sandi DNA sebuah fosil keluarga manusia yang ditemukan di Siberia,
Rusia, terperanjat. Lima persen DNA orang Melanesia yang mendiami Papua
dan Australia itu ditemukan di makhluk yang dijuluki “Denisovans” itu.
“Kami kira ini kesalahan ketika pertama melihatnya,” kata David
Reich, peneliti dari Harvard University, yang menulis laporan ilmiah
ini. “Namun ini nyata,” katanya dilansir the Associated Press, Rabu 22
Desember 2010.
Lebih aneh lagi, fosil itu justru tak menunjukkan sama sekali kaitan
dengan nenek moyang orang yang sekarang mendiami Siberia. Padahal, lebih
dari 30 ribu tahun lalu, “Denisovans” malang melintang di benua Asia.
Laporan mengenai kaitan “Denisovans” dengan ras Melanesia ini
merupakan laporan kedua setelah laporan yang menyimpulkan terjadi
perkawinan silang manusia (homo sapiens) dengan Neanderthal di Timur
Tengah, sesaat setelah nenek moyang manusia keluar dari Afrika namun
sebelum mendiami Eurasia (kawasan antara Asia dan Eropa).
Sementara untuk “Denisovans” kemungkinannya terjadi kawin campur
dengan nenek moyang orang Papua yang bermigrasi keluar dari Afrika
sekitar 45 ribu tahun lalu. Namun para ahli masih melanjutkan penelitian
lebih jauh soal genom “Denisovans” ini. Todd Disotell dari New York
University menyatakan, mereka harus mencari petunjuk jejak warna kulit
dan matanya.
“Kami akan merinci gambaran orang ini dalam beberapa tahun ke depan
berdasarkan genom ini,” katanya.
Keberadaan sanak manusia ini terungkap sembilan bulan lalu
berdasarkan sampel DNA yang diselamatkan dari sebuah tulang jari yang
ditemukan di Gua Denisova di selatan Siberia. Para peneliti lalu
menggunakan Denisovans untuk genom itu, meski belum diketahui apakah
mereka merupakan spesies terpisah dengan manusia (homo sapiens).
Namun genom yang ditemukan telah membuktikan Denisovans lebih
berkerabat dekat dengan Neanderthals daripada manusia modern. Temun ini
mengindikasikan bahwa keduanya muncul dari sebuah nenek moyang yang
sama.
Ilmuwan belum tahu seperti apa perawakan Denisovans ini. Namun dari
sebuah temuan geraham atas Denisovans di gua itu, ukuran dan bentuknya
berbeda dengan Neanderthals dan manusia modern, yang sama-sama pernah
hidup seperiode dengan mereka.
David Reich menyatakan, jari dan gigi itu belum ditentukan
tanggalnya, namun berdasarkan temuan tulang binatang di sekitarnya,
diperkirakan lebih dari 30 ribu atau bahkan 50 ribu tahun yang lalu. Dan
mereka atau nenek moyang mereka diduga kawin-mawin dengan nenek moyang
manusia modern yang merantau ke Papua pada 45 ribu tahun lalu.
Namun, menurut Reich, aneh jika perjalanan nenek moyang orang Papua
melewati Siberia untuk sampai ke Papua. Kemungkinannya adalah Denisovans
ini yang melanglang Asia termasuk sampai ke selatan.
“Jelas sekali mereka menyebar di Asia,” katanya. Dan ini butuh
penelitian DNA warga Asia yang terisolasi lama.
Sementara itu, Rick Potts, Direktur Program Asal-usul Manusia di
Smithsonian Institution, berpendapat, penemuan gen Denisovans ini
memperkuat dugaan mereka berbeda dengan Neanderthals dan manusia modern.
Meski ditemukan DNA Melanesia di Denisovans, Potss berpendapat bukan
karena perkawinan campur namun karena DNA dari nenek moyang itu yang
bertahan pada mereka namun hilang di populasi manusia modern umumnya.
Penemuan ini membuat teori yang dikemukakan ahli genetika dan
struktur DNA manusia dari Oxford University, Inggris, Stephen
Oppenheimer, menemukan basis. Dalam bukunya, Eden in The East,
Oppenheimer mengemukakan teori Sundaland merupakan pusat peradaban.
Menurut dia, nenek moyang dari induk peradaban manusia modern berasal
dari tanah Melayu yang sering disebut dengan sundaland atau Indonesia.
Oppenheimer menceritakan, niatnya meneliti ini dimulai dari komentar
tanpa sengaja oleh seorang pria tua di sebuah desa zaman batu di Papua
Nugini.
Dari situ dia mendapati kisah pengusiran petani dan pelaut di pantai
Asia Tenggara, yang diikuti serangkaian banjir pasca-sungai es hingga
mengarah pada perkembangan budaya di seluruh Eurasia. Oppenheimer
meyakini temuan-temuannya itu, dan menyimpulkan bahwa benih dari budaya
maju, ada di Indonesia.
Buku ini mengubah secara radikal pandangan tentang prasejarah. Pada
akhir Zaman Es, banjir besar yang diceritakan dalam kitab suci berbagai
agama benar-benar terjadi dan menenggelamkan paparan benua Asia Tenggara
untuk selamanya.
Hal itu yang menyebabkan penyebaran populasi dan tumbuh suburnya
berbagai budaya Neolitikum di Cina, India, Mesopotamia, Mesir dan
Mediterania Timur. Akar permasalahan dari pemekaran besar peradaban di
wilayah subur di Timur Dekat Kuno, berada di garis-garis pantai Asia
Tenggara yang terbenam.
“Indonesia telah melakukan aktivitas pelayaran, memancing, menanam
jauh sebelum orang lain melakukannya,” ujar dia. Oppenheimer
mengungkapkan bahwa orang-orang Polinesia (penghuni Benua Amerika) tidak
datang dari Cina, tapi dari pulau-pulau Asia Tenggara. Sementara
penanaman beras yang sangat pokok bagi masyarakat tidak berada di Cina
atau India, tapi di Semenanjung Malaya pada 9.000 tahun lalu.